Ansor Ancab Taman

Ansor Ancab Taman

Selasa, 11 Oktober 2016

Gaya Politik NU dalam Menyikapi Persoalan



"Tawassuth NU dalam menghadapi Persoalan"
Oleh Kyai Baidlowi Mufti - Ngelom Sepanjang


TAWASSUTH itu selain berasal dari QS Al Baqarah ayat 143, juga mengacu pada Hadits berikut ini :
أحبب حبيبك هونا ما ، عسى أن يكون بغيضك يوما ما ، و أبغض بغيضك هونا ما ، عسى أن يكون حبيبك يوما ما 
Intinya : suka atau tidak suka sedang-sedang saja, pro atau kontra jangan berlebihan.

Mari kita tengok sejarah :
1. Dalam menyikapi Pemerintahan Hindia Belanda, NU tidak bersikap kooperatif, dan tidak pula non-kooperatif, melainkan bersikap selektif-akomodatif. Dalam satu sisi, NU menolak kebijakan Belanda yang merugikan bangsa dan umat Islam, seperti wajib milisi, transfusi darah untuk kepentingan serdadu Belanda. Bahkan mengharamkan pakaian, makanan, dan minuman ala Belanda. Tetapi dalam sisi lain, pada tahun 1929 NU mendukung kebijakan Belanda tentang penertiban masalah perkawinan, yang di antaranya penentuan usia yang patut untuk kawin. Lebih hebat lagi pada tahun 1933, Indonesia yang masih dalam cengkeraman Belanda, oleh NU direkomendasi sebagai Darul Islam yakni Negara Islam dalam tataran teritorial, bukan dalam tataran politik. Begitulah sikap tawassuth NU !!!

2. Dalam menyikapi Pemerintah Fasisme Jepang, para Kiyai NU menolak kewajiban Saikerei yaitu upacara menghadap ke Timur untuk menghormati matahari terbit. Sehingga banyak kiyai NU, termasuk Mbah Hasyim dan Mbah Mahfudh Shiddiq Jember dipenjarakan oleh serdadu Jepang. Akibat dipenjara Jepang 3 tahun lamanya, maka sekeluar dari penjara, Mbah Mahfudh jatuh sakit dan kemudian meninggal. Tetapi dalam sisi lain, K.H. Abdul Wahid Hasyim berhasil melobi Pemerintah Jepang agar memberikan pelatihan kemiliteran pada kaum santri, sehingga di kalangan pesantren terbentuk 2 satuan militer : Hizbullah untuk kalangan muda dan santri, dan Sabilillah untuk kalangan kiyai. Waktu itu PETA sudah terbentuk, sedangakan TNI dan POLRI belum terbentuk. Hebatnya, tentara Hizbullah bersama tentara Sabilillah yang asalnya dilatih oleh Jepang, tetapi kemudian justru menghantam tentara Jepang. Begitulah sepak terjang Tawassuth NU !!!

3. Dalam menyikapi 7 anak kalimat dalam Piagam Jakarta, K.H. Abdul Wahid Hasyim mengusulkan "Presiden adalah orang asli Indonesia yang beragama Islam" disesuaikan dengan 7 anak kalimat tersebut, tetapi ditolak oleh Ir. Soekarno. Kemudian setelah 7 anak kalimat itu dihilangkan akibat ulah telikungan kaum nasionalis sekuler, lalu menjadi "Ketuhanan YME", maka - demi keutuhan NKRI -, NU selain merima pencabutan 7 anak kalimat itu, juga merelakan "Presiden adalah orang asli Indonesia" tanpa anak kalimat "yang beragama Islam". Tawassuth lagi, Tawassuth lagi !!!

4. Dalam menyikapi pandangan politik yang mempersoalkan kedudukan Presiden Soekarno dari tinjauan hukum Islam, NU pada tahun 1950-an memutuskan bahwa Presiden Soekarno adalah Waliyyul Amri Adl Dlaruri bisy Syaukah. Disebut Adl Dlaruri, karena Soekarno belum memenuhi syarat untuk menjadi pemegang kekuasaan dikarenakan otoriter, tetapi demi menjaga stabilitas politik, maka legitimasi Soekarno sebagai Presiden bersifat darurat. Kemudian disebut bisy Syaukah, adalah demi membendung meluasnya hegemoni (pengaruh) DI/TII pimpinan Karto Suwiryo yang dirasakan mengganggu stabitas politik. Tawassuth lagi, tawassuth lagi !!!

5. Dalam menyikapi pembentukan KABINET NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) oleh Presiden Soekatno, NU dalam satu sisi mustahil berkompromi dengan PKI. Tetapi dalam sisi lain, NU dengan bertawakkal kepada Allah ikut masuk dalam kabinet tersebut seakan-akan kompromi dengan PKI, padahal demi menandingi PKI yang bertekad untuk mengendalikan roda kabinet. Tawassuth lagi, Tawassuth lagi.

6. Dalam menyikapi pencanangan Asas Tunggal Pancasila oleh Rezim Soeharto, musim-musimnya antar kelompok sesama Islam saling mengafirkan, yang pro dikafirkan, maka dalam Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di PP As Salafiyah Al Ibrahimiyah Sukorejo - Asembagus - Situbondo, NU justru tampil sebagai kelompok Islam pertama yang menerima Asas Tunggal Pancasila, padahal ketika itu MUI Pusat pimpinan K.H. Hasan Basri kebingungan cari dalil Agama antara menerima dan menolak. Tetapi dalam sisi lain, NU memberi syarat sebagaimana deklarasinya dalam Muktamar NU ke-27 setahun setelah Munas, di tempat yang sama, bahwa :
1. Pancasila bukan Agama, bukan pengganti Agama, dan tidak bisa diagamakan.
2. Ketuhanan YME mencerminkan Tauhid dalam keimanan Islam.
3. Pengamalan Pancasila sebagai bentuk upaya pengamalan syari'at Islam bagi umat Islam.

Pertanyannya, mampukah generasi NU sekarang menerapkan sikap TAWASSUTH (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan???


MAAF BILA ADA KESALAHAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar